Rabu, 29 April 2015

HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A.      Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
     Menurut UU No. 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
     Menurut Sherman Act, ada beberapa hal yan berhubungan dengan proses terjadinya monopoli secara ilmiah, yaitu:
1.         Monopoli terjadi akibat dari suatu superrior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah Trade Secret (rahasia dagang), yang meskipun tidak memperoleh eksklusivitas pengakuan oleh negara, namun dengan rahasia dagangnya mampu membuat produk yang superior.
2.         Monopoli terjadi karena pemberian negara (Ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999)
3.         Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi karena tidak disengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli menjadi sangat relevan.



Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli, yaitu:
1.         Teori Perse, teori yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses negatifnya. Beberapa bentuk kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik beratnya adalah unsur formal dari perbuatan tersebut.
2.         Teori Rule of Reason, teori ini melarang kartel dan monopoli jika dapat dibuktikan bahwa ada ekses negatifnya.

B.       Proses Monopolisasi
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan sehubungan dengan proses terjadinya monopoli secara ilmiah. Hal tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.    Monopoli terjadi  akibat dari suatu superior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari peberian hak paten secara ekslusif oleh Negara.
2.    Monopoli terjadi karena pemberian Negara. Di Negara kita hal ini sangat jelas dapat dilihat dalam ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU No. 5 tahun 1999.
3.    Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi karena tidak sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana proses monopoli itu terjadi.
Untuk menilai berlangsungnya suatu proses monopolisasi, sehingga dapat terjadi suatu bentuk monopoli yang dilarang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.      Penentuan mengenai pasar bersangkutan (the relevant market)
Dalam UU No.5 Tahun 1999, pasar bersngkutan didefinisikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkuan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau jasa yang sama atau subtitusi dari barang atau  jasa tesebut.
Untuk menetukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan pada umumnya orang mencoba mendekatinya melalui pendekatan sensifitas produk. Salah satu yang dapat dipakai adalah pendekatan “elasticity of demand”. Untuk menilai relevansi keterkaitanya dengan produk competitor deperkenalkan konsep “cross elasticity demand/CED” antara kedua produk yang saling dikaitkan.
 
 



Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang dapat dianggap cukup relevan dan berpengaruh yaitu:
a.       Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan ptrhadap perilaku penting terhadap usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar,keragama produk, system distribusi dan penguasaan pangsa pasar.
b.      Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalamkapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan dan metode persaingan yang digunakan.
c.       Pangsa pasar adalah presentase nilai jual dan beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kelender tertentu.
d.      Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara pihak dalm pasar yang bersangkutan.
2.      Penilaian terhadap keadaan pasar dan jumlah pelaku usaha.
Pelaku usaha dianggap menguasai pangsa pasar secara monopoli.jika ia mempunyai pangsa pasar lebih dari 75%. UU No. 5 Tahun 1999 pasal 4 (2) menyatan bahwa “Pelaku usaha patut diduga dan dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang atau jasa, jika 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku uasaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu atau jenis barang atau jasa tertentu.
3.      Ada tidaknya kehendak untuk melakukan monopoli oleh pelaku usaha tertentu.
Pada pasar bersangkutan yang sudah jenuh, kehendak untuk menjadi besar terkadang dilaksanakan dengan cara yang tidak wajar dan tidakk sehat.

Monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang        merugikan, yaitu:
a.         Terjadi peningkatan suatu produk. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas.
b.        Adanya kekurangan (profil) diatas kewajaran yang normal, pelaku usaha akan menetapkan harga agar meperoleh keuntungan yang sangat besar karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa membeli produk tersebut.
c.         Terjadinya eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas produk.
d.        Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisiensi yang akan dibebankan kepada konsumen dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroprasi pada average cost yang minimum.
e.         Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk kedalam bidang usaha perusahaan monopoli.
f.         Pendapatan  tidak merata karena sumber dana dan modal tersedot kedalam perusahaan monopoli.

C.      Praktek Monopoli  dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Praktek monopoli adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Pada dasarnya, ada 4 unsur yang terdapat dalam praktek monopoli:
1.         Adanya pemusatan kekuatan ekonomi
2.         Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi
3.         Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
4.         Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara nyata terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa tertentu). Jadi, sebenarnya monopoli tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan ekonomi adalah terjadinya penguasaan nyata dari suatu pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atu jasa yang diperdagangkan tidak lagi menggikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan, melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang menguasai pasar tersebut.

D.      Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang
Pengertian Perjanjian
     Dalam UU, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jika dibandingkan definisi UU dengan ketentuan pasal 1313 KUHP, yang menjelaskan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dan sebagai konsekuensinya perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali penarikan atau pencabutan tersebut juga disepakati secara bersama oleh kedua belah pihak.

Sahnya Perjanjian
Ketentuan pasal 1320 KUHP mensyaratkan dipenuhinya 4 syarat untuk sah nya suatu perjanjian:
1.         Adanya  kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji
2.         Adanya kecakapan untuk bertindak dari para pihak yang berjanji
3.         Adanya suatu obyek yang diperjanjikan
4.         Bahwa perjanjian tersebut adalah sesuatu yang diperkenankan, baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kebiasan dan kepatuhan hukum, serta kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada waktu perjanjian tersebut dibuat atau dilaksanakan
Dua persyaratan (pertama dan kedua) dalam ilmu hukum disebut dengan syarat subyektif, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum perjanjian tersebut. Selanjutnya dua persyaratan terakhir (ketiga dan keempat) dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan syarat obyektif. 

Perjanjian yang Dilarang
Untuk mencegah terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, undang-undang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian tertentu dengan pelaku usaha lainnya. Larangan tersebut merupakan larangan terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dalam undang-undang obyek perjanjian yang dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya adalah sebagai berikut:
1.         Melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 4 ayat (1))
2.         Menetapkan harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian:
a.         Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan
b.        Perjanjian yang didasarkan UU yang berlaku (pasal 5 ayat (2))
3.         Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama (pasal 6)
4.         Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (pasal 7)
5.         Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan jasa yang telah diterima (pasal 8)
6.         Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap  suatu barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (pasal 9)
7.         Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (pasal 10 ayat (1))
8.         Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan jasa dari pelaku usaha lain, yang mengakibatkan:
a.         Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku usaha lain
b.        Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat (2))
9.         Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 11)
10.      Perjanjian untuk melakukan  kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (pasal 12)
11.     Perjanjian yang bertujuan untuk bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan barang atau jasa tertentu (pasal 13 ayat (1))
12.     Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat (pasal 14)
13.     Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan pada suatu tempat tertentu (pasal 15 ayat (1))
14.     Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tetentu harus bersedia untuk membelibarang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (pasal 15 ayat (2))
15.     Perjanjian mengenai pemberian harga atau potongan harga tertentu atas barang atau jasa (pasal 15 ayat (3))
16.     Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16)

Pada prinsipnya obyek yang dilarang bukanlah suatu obyek larangan yang bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar menawar kembali. Suatu persyaratan “yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat” merupakan syarat pokok batalnya perjanjian tersebut.
Monopsoni merupakan istilah untuk monopoli dalam pembelian yang kenyatannya dapat menjelma dalam berbagai derivatif sampai beberapa strata yang membawa dosa masing-masing dalam strata. Dalam literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang merugikan antara lain:
a.         Terjadinya peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak adanya kompetisi dan persaingan yang bebas. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas.
b.         Adanya keuntungan (profit) diatas kewajaran yang normal.
c.         Terjadi eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas produk. Eksploitasi juga akan menimpa karyawan dan buruh yang bekerja, dengan menetapkan gaji dan upah yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku.
d.        Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang minimum.
e.         Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha usaha perusahaan monopoli tersebut karena penguasaan pangsa pasarnya yang besar.
f.          Pendapatan menjadi tidak merata kerena sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam perusahaan monopoli.

Menurut UU No.5/1999 perjanjian yang dilarang adalah sebagai berikut:
a.     Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
b.    Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a)    Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
b)   Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
c)    Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
d)   Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
c.     Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
d.    Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
e.     Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
f.     Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
g.    Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
h.    Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
i.      Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
j.      Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

E.       Kegiatan-Kegiatan yang Dilarang
Undang-undang anti monopoli memberikan satu bab khusus yang mengatur kegiatan yang dilarang, yaitu Bab IV yang terdiri dari 8 pasal. Kegiatan yang dilarang dapat kita golongkan menjadi 4 kegiatan yaitu :
1. Monopoli, yang diatur dalam pasal 17
2. Monopsoni, yang diatur dalam pasal 18
3. Penguasaan pasar, yang diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 21
4. Persekongkolan, yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 24

Secara lengkapnya kegiatan yang dilarang tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.    Kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bertujuan untuk memperoleh penguasaan atas produksi yang dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat Parameter yang dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah :
a.    Barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya
b.    Mengakibatkan pelaku usaha lain (pelaku usaha yang mempunyai kemampuan yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan)
c.    Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.    Kegiatan untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Parameternya yang dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah :
a. Apabila satupelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50%  pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3.    Satu atau  lebih kegiatan yang dilakukan, baik oleh satu pelaku usaha sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang bertujuan untuk :
            a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan                   kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dengan cara yang                       tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena                                       perbedaan suku, ras, status sosial dan lain-lain.
            b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk                   tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
            c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada                         pasar bersangkutan.
            d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4.    Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan melakukan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.
5.    Melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa untuk memperoleh biaya faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya
6.    Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender.
7.    Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan.
8.    Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Untuk kegiatan yang disebut dalam angka 1-5 kegiatan yang dilarang ini dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha untuk menciptakan suasana persaingan yang tidak sehat.
Sedangkan untuk kegiatan yang disebut dalam angka 6-8 kegiatan yang dilarang ini dilakukan dengan cara persekongkolan atau kerjasama dengan pihak lain lain yang semua itu dapat menyebabkan suasana persaingan yang tidak sehat dan mengarah ke monopoli.

F.       Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga yang khusus di bentuk oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-undang.
KPPU bertanggung jawab langsung kepada presiden, selaku kepala negara. KPPU terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Anggota KPPU ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota KPPU hanya 2 periode, dengan masing-masing periode selama 5 tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan menyebabakan kekosongan dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota baru dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.
Syarat menjadi anggota KPPU :
a.         Warga negara republik indonesia, berusaha sekurang-kurangnya 30 tahun setinggi-tingginya 60 tahun pada saat pengangkatan
b.         Setia pada pancasila dan undang-undang dasar 1945
c.         Beriman dan bertaqwa kepada ketuhanan yang maha esa.
d.        Jujur, adil dan berkelakuan baik
e.         Bertempat tinggal di wilayah negara republik indonesia
f.          Berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi
g.         Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berat atau kerena melakukan pelanggaran kesusilaan
h.         Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan
i.           Tidak terefaliasi dengan suatu badan usaha

Tugas dan wewenang KPPU
Tugas dan wewenang KPPU di atur dalam ketentuan pasal 35, yang dikatakan bahwa tugas komisi meliputi:
1.    Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
2.    Melakukan penilaian  terhadap kegiatan usaha dan atau  tidak pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
3.    Melakukan penilaian terhadap ada dan tidak adanya penyalah gunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
4.    Mangambil tindakan dengan wewenangnya
5.    Memberikan saran pertimbangan terhadap komisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
6.    Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini
7.    Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan dewan perwakilan rakyat.

Tata cara penanganan perkara oleh KPPU
·           Pemeriksaan oleh KPPU
Pasal 39 ayat 1 UU mewajibkan KPPU untuk berdasarkan laporan yang telah di sampaikan tersebut, melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak KPPU menerimah laporan tersebut, KPPU  wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jika KPPU menetapkan perlunya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, maka KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.
Alat-alat bukti pemeriksaan KPPU berupa:
1)   Keterangan saksi
2)   Keterangan ahli
3)   Surat dan atau dokumen
4)   Petunjuk
5)   Keterangan pelaku usaha
·           Putusan KPPU
       Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu bidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha yang menerima pemberitahuan tersebut dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU.
·           Keberatan atas putusan KPPU dan pelaksaan putusan KPPU
       Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan atas KPPU dan pelaksaan putusan KPPU, dalam jangka 14 hari setelah pemberitahuan dianggap telah menerima keputusan KPPU, dan keputusan KPPU tersebut akan berlaku sebagai keputusan pada tingkat akhir (final) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebagai konsekuensinya, putusan tersebut bersifat eksekutorial (putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri). Selanjutnya undang-undang menentukan bahwa dalam 30 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan putusan KPPU sebagai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan.
·           Keberatan atas putusan KPPU
Pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan kepada Pengadikan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah pemberitahuan putusan tersebut diterima. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 14 haru sejak diterimanya keberatan tersebut, dan harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. Apabila terdapat keberatan atas putusan Pengadilan Negeri maka pihak yang berkeberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri, dapat mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.

G.      Macam-macam Sanksi yang dapat dikenakan
Sanksi yang diberikan dalam Undang-undang secara garis besar dapat dibedakan kedalam :
1.         Tindakan administrative (pasal 47 ayat 2)
Tindakan administrative yang dapat diambil menurut ketentuan Undang-undang adalah sebagai berikut:
a.    Penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang  sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 4 sampai dengan pasal 13, pasal 15 dan pasal 16 Undang-undang sebagaimana berikut:
1.        Perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.        Perjanjian yang menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
3.        Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
4.        Perjanjian yang membuat suatu penetapan harga dibawah pasar,yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
5.        Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
6.        Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
7.        Perjanjian yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
8.        Perjanjian dengan maksud untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a.    Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain.
b.    Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan
9.        Perjanjian dengan tujuan untuk mempengaruhi harga dengan engatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
10.    Perjanjian kerjasama untuk membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
11.    Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopolidan atau persaingan usaha tidak sehat.
12.    Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
13.    Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
14.    Perjanjian yang memberikan harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, dengan syarat bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :
a.    Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
b.    Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
15.    Perjanjian yang dibuat dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

b.    Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan pembuatan atau pelaksanaan perjanjian yang menyebabkan terjadinya intergrasi vertical yang antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, penglihatan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain atau perubahan bentuk rangkaian produksinya yang dilarang oleh ketentuan pasal 14 Undang-undang.
c.    Pemerintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat,berupa tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.
d.   Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan.
e.    Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 28 Undang-undang.
f.     Pembayaran ganti rugi kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan.
g.    Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00.

2.         Sanksi pidana pokok (pasal 48)
Selain sanksi administrative khusus untuk  perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang melanggar ketentuan Undang-undang  juga dikenakan sanksi pidana pokok menurut Undang-undang sebagai berikut:
a.         Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4 mengenai penguasaan produksi, pasal 9 mengenai pembagian wilayah, pasal 10 yang bertujuan untuk menghalangi kegiatan usaha dari pelaku usaha lain, pasal 11 mengenai peraturan produksi, pasal 12 mengenai pembentukan kartel usaha, pasal 13 mengenai penguasaan pasokan secara bersama-sama oleh pelaku usaha, pasal 14 tentang integrasi vertical, pasal 16 tentang perjanjian internasional yang dilarang, pasal 17 tentang kegiatan monopoli, pasal 18 tentang monopsoni, pasal 19 mengenai kegiatan penguasaan pasar, pasal 25 tentang mengenai posisi dominan, pasal 27 tentang kepemilikan saham mayoritas dan pasal 28 tentang penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham dan diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan.
b.        Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 tentang penetapan harga secara bersama , pasal 6 tentang perbedaan harga jual, pasal 7 tentang penetapan harga dibawah harga pasar, pasal 8 tentang penentuan batas atau patokan harga tertentu, pasal 15 tentang perjanjian tertutup dengan pihak ke tiga, pasal 20 tentang penjualan rugi, pasal 21 tentang perlakuan kecurangan dalam biaya produksi, pasal 22 sampai dengan pasal 24 tentang persekongkolan dan pasal 26 tentang jabatan rangkap diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.5.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan.
c.         Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 mengenai pemeriksaan terhadap pelaku usaha diancam pidana deda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan.

3.         Sanksi pidana tambahan (pasal 49)
Di luar sanksi pidana pokok yang dikenakan dalam pasal 48 ayat 1 sampai dengan ayat 3 Undang-undang tersebut di atas ketentuan pasal 49 Undang-undang menetapkan sanksi pidana tambahan dengan menunjuk pada ketentuan pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.    Pencabutan izin usaha
b.    Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun.
c.    Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
4.         Pengecualian-pengecualian
          Selain pengecualian yang secara khusus diatur dalam pasal 5 ayat 2 mengenai penetapan harga secara bersama, Undang-undang juga mengecualikan beberapa hal berikut ini dari berlakunya Undang-undang ini:
a.    Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.    Perjanjian penetapan standar teknis produk barang atau jasa tidak mengekang dan tidak menghalangi persaingan.
c.    Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat yang luas.
d.   Perjanjian internasioanal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
e.    Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
f.     Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
g.    Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri
h.    Pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
i.      Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya
           
H.      Contoh Kasus
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. PLN masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk ke dalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. PLN adalah:
1.         Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
2.         Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.

Kesimpulan :
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.



DAFTAR PUSTAKA

Subagyo. 2003. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Buku II. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2006. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Novita, Riza. 2013. Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Contoh Kasus. (Online).  (http://rizanovita12.blogspot.com/2013/05/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html), diakses 28 Maret 2014.

LPP Community. 2009. Etika Bisnis: Monopoli – Kasus PT. Perusahaan Listrik Negara. (Online). (http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/), diakses 15 April 2014.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar