A.
Pengertian
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Menurut UU No. 5 Tahun 1999, monopoli
adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha.
Persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan
kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Menurut Sherman Act,
ada beberapa hal yan berhubungan dengan proses terjadinya monopoli secara
ilmiah, yaitu:
1.
Monopoli terjadi akibat dari suatu superrior skill, yang salah satunya
dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara,
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada pelaku usaha
tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas teknologi tertentu. Selain itu
ada juga yang dikenal dengan istilah Trade
Secret (rahasia dagang), yang meskipun tidak memperoleh eksklusivitas
pengakuan oleh negara, namun dengan rahasia dagangnya mampu membuat produk yang
superior.
2.
Monopoli terjadi karena pemberian negara
(Ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51
UU No. 5 Tahun 1999)
3.
Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang
terjadi karena tidak disengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang
ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam
hal ini penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya
monopoli menjadi sangat relevan.
Terdapat dua teori yang
terdapat dalam hukum anti monopoli, yaitu:
1.
Teori Perse, teori yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses negatifnya. Beberapa bentuk
kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus dianggap dengan
sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik beratnya adalah unsur formal dari
perbuatan tersebut.
2.
Teori Rule of Reason, teori ini melarang kartel dan monopoli jika dapat
dibuktikan bahwa ada ekses negatifnya.
B.
Proses
Monopolisasi
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan
sehubungan dengan proses terjadinya monopoli secara ilmiah. Hal tersebut antara
lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Monopoli
terjadi akibat dari suatu superior
skill, yang salah satunya dapat terwujud dari peberian hak paten secara
ekslusif oleh Negara.
2. Monopoli
terjadi karena pemberian Negara. Di Negara kita hal ini sangat jelas dapat
dilihat dalam ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali
dalam pasal 51 UU No. 5 tahun 1999.
3. Monopoli
yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi
karena tidak sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan
oleh berbagai faktor terkait dimana proses monopoli itu terjadi.
Untuk menilai berlangsungnya suatu
proses monopolisasi, sehingga dapat terjadi suatu bentuk monopoli yang dilarang
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Penentuan
mengenai pasar bersangkutan (the relevant market)
Dalam UU No.5 Tahun 1999, pasar
bersngkutan didefinisikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkuan atau
daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau jasa yang sama
atau subtitusi dari barang atau jasa
tesebut.
Untuk menetukan relevansi atau
kedudukan dari suatu pasar bersangkutan pada umumnya orang mencoba mendekatinya
melalui pendekatan sensifitas produk. Salah satu yang dapat dipakai adalah
pendekatan “elasticity of demand”.
Untuk menilai relevansi keterkaitanya dengan produk competitor deperkenalkan
konsep “cross elasticity demand/CED”
antara kedua produk yang saling dikaitkan.
|
Dalam hal ini terdapat beberapa hal
yang dapat dianggap cukup relevan dan berpengaruh yaitu:
a. Struktur
pasar adalah keadaan pasar yang memberikan ptrhadap perilaku penting terhadap
usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk
dan keluar pasar,keragama produk, system distribusi dan penguasaan pangsa
pasar.
b. Perilaku
pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalamkapasitasnya
sebagai pemasok atau pembeli barang atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan,
antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan dan metode
persaingan yang digunakan.
c. Pangsa
pasar adalah presentase nilai jual dan beli barang atau jasa tertentu yang
dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kelender
tertentu.
d. Harga
pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai
kesepakatan antara pihak dalm pasar yang bersangkutan.
2. Penilaian
terhadap keadaan pasar dan jumlah pelaku usaha.
Pelaku usaha dianggap menguasai
pangsa pasar secara monopoli.jika ia mempunyai pangsa pasar lebih dari 75%. UU
No. 5 Tahun 1999 pasal 4 (2) menyatan bahwa “Pelaku usaha patut diduga dan
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang
atau jasa, jika 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku uasaha menguasai
lebih dari 75% pangsa pasar satu atau jenis barang atau jasa tertentu.
3. Ada
tidaknya kehendak untuk melakukan monopoli oleh pelaku usaha tertentu.
Pada pasar bersangkutan yang sudah
jenuh, kehendak untuk menjadi besar terkadang dilaksanakan dengan cara yang
tidak wajar dan tidakk sehat.
Monopoli dilarang karena mengandung
beberapa efek negatif yang merugikan,
yaitu:
a.
Terjadi peningkatan suatu produk. Harga
yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas.
b.
Adanya kekurangan (profil) diatas
kewajaran yang normal, pelaku usaha akan menetapkan harga agar meperoleh
keuntungan yang sangat besar karena konsumen tidak ada pilihan lain dan
terpaksa membeli produk tersebut.
c.
Terjadinya eksploitasi terhadap konsumen
karena tidak adanya hak pilih konsumen atas produk.
d.
Terjadi ketidakekonomisan dan
ketidakefisiensi yang akan dibebankan kepada konsumen dalam menghasilkan suatu
produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroprasi pada average cost yang minimum.
e.
Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk kedalam
bidang usaha perusahaan monopoli.
f.
Pendapatan tidak merata karena sumber dana dan modal
tersedot kedalam perusahaan monopoli.
C.
Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
Praktek
monopoli adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
dapat merugikan kepentingan umum.
Pada
dasarnya, ada 4 unsur yang terdapat dalam praktek monopoli:
1.
Adanya pemusatan kekuatan ekonomi
2.
Pemusatan kekuatan tersebut berada pada
satu atau lebih pelaku usaha ekonomi
3.
Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
4.
Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut
merugikan kepentingan umum.
Dalam
UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi
tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak
dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau
bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara
nyata terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/
atau jasa tertentu). Jadi, sebenarnya monopoli tidak dilarang, yang dilarang
adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu prasyarat pokok dapat
dikatakan telah terjadi suatu pemusatan ekonomi adalah terjadinya penguasaan
nyata dari suatu pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atu jasa yang
diperdagangkan tidak lagi menggikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan
penjualan, melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi
yang menguasai pasar tersebut.
D.
Perjanjian-Perjanjian
yang Dilarang
Pengertian Perjanjian
Dalam
UU, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan
nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jika dibandingkan definisi UU
dengan ketentuan pasal 1313 KUHP, yang menjelaskan perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Dan sebagai konsekuensinya perjanjian yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut, kecuali penarikan atau pencabutan tersebut juga disepakati
secara bersama oleh kedua belah pihak.
Sahnya Perjanjian
Ketentuan
pasal 1320 KUHP mensyaratkan dipenuhinya 4 syarat untuk sah nya suatu
perjanjian:
1.
Adanya
kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji
2.
Adanya kecakapan untuk bertindak dari
para pihak yang berjanji
3.
Adanya suatu obyek yang diperjanjikan
4.
Bahwa perjanjian tersebut adalah sesuatu
yang diperkenankan, baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk kebiasan dan kepatuhan hukum, serta kesusilaan dan ketertiban
umum yang berlaku pada waktu perjanjian tersebut dibuat atau dilaksanakan
Dua persyaratan (pertama dan kedua) dalam ilmu hukum
disebut dengan syarat subyektif, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung
dengan subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum perjanjian tersebut.
Selanjutnya dua persyaratan terakhir (ketiga dan keempat) dalam ilmu hukum
lebih dikenal dengan syarat obyektif.
Perjanjian yang Dilarang
Untuk mencegah terjadinya monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat, undang-undang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian
tertentu dengan pelaku usaha lainnya. Larangan tersebut merupakan larangan
terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dalam undang-undang obyek perjanjian yang
dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya adalah
sebagai berikut:
1.
Melakukan penguasaan produksi atau
pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat (pasal 4 ayat (1))
2.
Menetapkan harga tertentu atas suatu
barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian:
a.
Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha
patungan
b.
Perjanjian yang didasarkan UU yang
berlaku (pasal 5 ayat (2))
3.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama (pasal 6)
4.
Menetapkan harga dibawah pasar, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (pasal 7)
5.
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan
jasa yang telah diterima (pasal 8)
6.
Perjanjian yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
suatu barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (pasal 9)
7.
Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri (pasal 10 ayat (1))
8.
Perjanjian untuk menolak menjual setiap
barang dan jasa dari pelaku usaha lain, yang mengakibatkan:
a.
Kerugian atau dapat diduga menerbitkan
kerugian bagi pelaku usaha lain
b.
Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam
menjual atau membeli setiap barang atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10
ayat (2))
9.
Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
(pasal 11)
10. Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar (pasal 12)
11. Perjanjian
yang bertujuan untuk bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
barang atau jasa tertentu (pasal 13 ayat (1))
12. Perjanjian
yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat (pasal 14)
13. Perjanjian
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa hanya akan
memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan pada suatu tempat tertentu (pasal 15 ayat (1))
14. Perjanjian
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tetentu
harus bersedia untuk membelibarang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok
(pasal 15 ayat (2))
15. Perjanjian
mengenai pemberian harga atau potongan harga tertentu atas barang atau jasa
(pasal 15 ayat (3))
16. Perjanjian
dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16)
Pada prinsipnya obyek yang dilarang bukanlah suatu
obyek larangan yang bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar menawar kembali.
Suatu persyaratan “yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat” merupakan syarat pokok batalnya perjanjian
tersebut.
Monopsoni merupakan istilah untuk monopoli dalam
pembelian yang kenyatannya dapat menjelma dalam berbagai derivatif sampai
beberapa strata yang membawa dosa masing-masing dalam strata. Dalam literatur,
monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang merugikan antara
lain:
a.
Terjadinya peningkatan harga suatu
produk sebagai akibat tidak adanya kompetisi dan persaingan yang bebas. Harga
yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas.
b.
Adanya keuntungan (profit) diatas
kewajaran yang normal.
c.
Terjadi eksploitasi terhadap konsumen
karena tidak adanya hak pilih konsumen atas produk. Eksploitasi juga akan
menimpa karyawan dan buruh yang bekerja, dengan menetapkan gaji dan upah yang
sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku.
d.
Terjadi ketidakekonomisan dan
ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen dalam menghasilkan suatu
produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost
yang minimum.
e.
Adanya entry barrier dimana perusahaan
lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha usaha perusahaan monopoli tersebut
karena penguasaan pangsa pasarnya yang besar.
f.
Pendapatan menjadi tidak merata kerena
sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam perusahaan monopoli.
Menurut
UU No.5/1999
perjanjian yang dilarang adalah sebagai berikut:
a.
Oligopoli
Adalah
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
b.
Penetapan harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a) Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama
b) Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
c) Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
d) Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
c.
Pembagian wilayah
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
d.
Pemboikotan
Pelaku
usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
e.
Kartel
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
f.
Trust
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
g.
Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku
usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang
dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
h.
Integrasi vertikal
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
i.
Perjanjian tertutup
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
j.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
E. Kegiatan-Kegiatan yang Dilarang
Undang-undang anti monopoli memberikan satu bab
khusus yang mengatur kegiatan yang dilarang, yaitu Bab IV yang terdiri dari 8
pasal. Kegiatan yang dilarang dapat kita golongkan menjadi 4 kegiatan yaitu :
1. Monopoli, yang diatur dalam pasal 17
2. Monopsoni, yang diatur dalam pasal 18
3. Penguasaan pasar, yang diatur dalam pasal 19
sampai dengan pasal 21
4. Persekongkolan, yang diatur dalam pasal 22 sampai
dengan pasal 24
Secara lengkapnya kegiatan yang dilarang tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Kegiatan
yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bertujuan untuk memperoleh penguasaan
atas produksi yang dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat Parameter yang
dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah :
a. Barang
atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya
b. Mengakibatkan
pelaku usaha lain (pelaku usaha yang mempunyai kemampuan yang signifikan dalam
pasar yang bersangkutan)
c. Satu
pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Kegiatan
untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan
jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Parameternya yang dijadikan tolak
ukur dalam undang-undang tersebut adalah :
a. Apabila satupelaku usaha atau satu kelompok usaha
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Satu
atau lebih kegiatan yang dilakukan, baik
oleh satu pelaku usaha sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya
yang bertujuan untuk :
a.
Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi,
misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial dan
lain-lain.
b.
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu.
c.
Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.
d.
Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Melakukan
pemasokan barang dan atau jasa dengan melakukan cara jual rugi atau menetapkan
harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha
pesaingnya di pasar bersangkutan.
5. Melakukan
kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi
bagian dari komponen harga barang dan atau jasa untuk memperoleh biaya faktor
produksi yang lebih rendah dari seharusnya
6. Melakukan
persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender.
7. Melakukan
persekongkolan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan.
8. Melakukan
persekongkolan dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau
jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik
dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Untuk kegiatan yang disebut dalam angka 1-5 kegiatan
yang dilarang ini dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha untuk menciptakan suasana persaingan yang tidak sehat.
Sedangkan untuk kegiatan yang disebut dalam angka
6-8 kegiatan yang dilarang ini dilakukan dengan cara persekongkolan atau
kerjasama dengan pihak lain lain yang semua itu dapat menyebabkan suasana
persaingan yang tidak sehat dan mengarah ke monopoli.
F.
Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) adalah
suatu lembaga yang khusus di bentuk oleh dan berdasarkan undang-undang untuk
mengawasi jalannya undang-undang.
KPPU bertanggung jawab langsung kepada presiden, selaku kepala negara. KPPU
terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap
anggota, dan sekurang-kurangnya 7 orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua
komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Anggota KPPU ini diangkat dan
diberhentikan oleh presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa
jabatan anggota KPPU hanya 2 periode, dengan masing-masing periode selama 5
tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan menyebabakan kekosongan dalam
keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota baru dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru.
Syarat menjadi anggota KPPU :
a.
Warga negara republik indonesia,
berusaha sekurang-kurangnya 30 tahun setinggi-tingginya 60 tahun pada saat
pengangkatan
b.
Setia pada pancasila dan undang-undang
dasar 1945
c.
Beriman dan bertaqwa kepada ketuhanan
yang maha esa.
d.
Jujur, adil dan berkelakuan baik
e.
Bertempat tinggal di wilayah negara
republik indonesia
f.
Berpengalaman dalam bidang usaha atau
mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi
g.
Tidak pernah dipidana karena melakukan
kejahatan berat atau kerena melakukan pelanggaran kesusilaan
h.
Tidak pernah dinyatakan pailit oleh
pengadilan
i.
Tidak terefaliasi dengan suatu badan
usaha
Tugas dan wewenang KPPU
Tugas
dan wewenang KPPU di atur dalam ketentuan pasal 35, yang dikatakan bahwa tugas
komisi meliputi:
1.
Melakukan penilaian terhadap perjanjian
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat
2.
Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tidak pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
3.
Melakukan penilaian terhadap ada dan
tidak adanya penyalah gunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
4.
Mangambil tindakan dengan wewenangnya
5.
Memberikan saran pertimbangan terhadap
komisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
6.
Menyusun pedoman dan atau publikasi yang
berkaitan dengan undang-undang ini
7.
Memberikan laporan secara berkala atas
hasil kerja komisi kepada presiden dan dewan perwakilan rakyat.
Tata
cara penanganan perkara oleh KPPU
·
Pemeriksaan oleh KPPU
Pasal 39 ayat 1
UU mewajibkan KPPU untuk berdasarkan laporan yang telah di sampaikan tersebut,
melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut,
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak KPPU menerimah
laporan tersebut, KPPU wajib menetapkan
perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jika KPPU menetapkan
perlunya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, maka KPPU wajib melakukan
pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.
Alat-alat bukti
pemeriksaan KPPU berupa:
1)
Keterangan saksi
2)
Keterangan ahli
3)
Surat dan atau dokumen
4)
Petunjuk
5)
Keterangan pelaku usaha
·
Putusan KPPU
Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu
bidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada
pelaku usaha. Pelaku usaha yang menerima pemberitahuan tersebut dapat
mengajukan keberatan atas putusan KPPU.
·
Keberatan atas putusan KPPU dan
pelaksaan putusan KPPU
Pelaku usaha yang tidak mengajukan
keberatan atas KPPU dan pelaksaan putusan KPPU, dalam jangka 14 hari setelah
pemberitahuan dianggap telah menerima keputusan KPPU, dan keputusan KPPU
tersebut akan berlaku sebagai keputusan pada tingkat akhir (final) dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebagai konsekuensinya, putusan tersebut
bersifat eksekutorial (putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan penetapan
eksekusi kepada Pengadilan Negeri). Selanjutnya undang-undang menentukan bahwa
dalam 30 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU,
pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan
pelaksanaannya kepada KPPU. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh
pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka KPPU menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan putusan KPPU
sebagai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan.
·
Keberatan atas putusan KPPU
Pelaku usaha
yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan kepada Pengadikan
Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah pemberitahuan putusan tersebut
diterima. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku
usaha dalam waktu 14 haru sejak diterimanya keberatan tersebut, dan harus
memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan
tersebut. Apabila terdapat keberatan atas putusan Pengadilan Negeri maka pihak
yang berkeberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri, dapat
mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari terhitung sejak
putusan dijatuhkan. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari
sejak permohonan kasasi diterima.
G. Macam-macam Sanksi yang dapat
dikenakan
Sanksi yang diberikan dalam Undang-undang secara garis besar dapat dibedakan
kedalam :
1.
Tindakan administrative (pasal 47 ayat 2)
Tindakan
administrative yang dapat diambil menurut ketentuan Undang-undang adalah
sebagai berikut:
a.
Penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang oleh
Undang-undang sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan pasal 4 sampai dengan pasal 13, pasal 15 dan pasal 16
Undang-undang sebagaimana berikut:
1.
Perjanjian untuk menguasai produksi dan atau
pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.
Perjanjian yang menetapkan harga atas suatu barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
3.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
4.
Perjanjian yang membuat suatu penetapan harga
dibawah pasar,yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
5.
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau
jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga
yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
6.
Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
7.
Perjanjian yang bertujuan untuk menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri.
8.
Perjanjian dengan maksud untuk menolak menjual
setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut
:
a.
Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain.
b.
Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau
membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan
9.
Perjanjian dengan tujuan untuk mempengaruhi harga
dengan engatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
10.
Perjanjian kerjasama untuk membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
11.
Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopolidan atau persaingan usaha tidak sehat.
12.
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali
barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.
13.
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
14.
Perjanjian yang memberikan harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, dengan syarat bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :
a.
Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain
dari pelaku usaha pemasok.
b.
Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.
15.
Perjanjian yang dibuat dengan pihak lain di luar
negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b.
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
pembuatan atau pelaksanaan perjanjian yang menyebabkan terjadinya intergrasi
vertical yang antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, penglihatan
sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain atau perubahan bentuk rangkaian
produksinya yang dilarang oleh ketentuan pasal 14 Undang-undang.
c.
Pemerintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat,berupa tindakan
tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.
d.
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
penyalahgunaan posisi dominan.
e.
Penetapan pembatalan atas penggabungan atau
peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 28 Undang-undang.
f.
Pembayaran ganti rugi kepada pelaku usaha dan kepada
pihak lain yang dirugikan.
g.
Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.
1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00.
2.
Sanksi pidana pokok (pasal 48)
Selain sanksi administrative khusus untuk
perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang melanggar ketentuan
Undang-undang juga dikenakan sanksi
pidana pokok menurut Undang-undang sebagai berikut:
a.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4
mengenai penguasaan produksi, pasal 9 mengenai pembagian wilayah, pasal 10 yang
bertujuan untuk menghalangi kegiatan usaha dari pelaku usaha lain, pasal 11
mengenai peraturan produksi, pasal 12 mengenai pembentukan kartel usaha, pasal
13 mengenai penguasaan pasokan secara bersama-sama oleh pelaku usaha, pasal 14
tentang integrasi vertical, pasal 16 tentang perjanjian internasional yang
dilarang, pasal 17 tentang kegiatan monopoli, pasal 18 tentang monopsoni, pasal
19 mengenai kegiatan penguasaan pasar, pasal 25 tentang mengenai posisi dominan,
pasal 27 tentang kepemilikan saham mayoritas dan pasal 28 tentang penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan saham dan diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp25.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000,00 atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan.
b.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 tentang
penetapan harga secara bersama , pasal 6 tentang perbedaan harga jual, pasal 7
tentang penetapan harga dibawah harga pasar, pasal 8 tentang penentuan batas
atau patokan harga tertentu, pasal 15 tentang perjanjian tertutup dengan pihak
ke tiga, pasal 20 tentang penjualan rugi, pasal 21 tentang perlakuan kecurangan
dalam biaya produksi, pasal 22 sampai dengan pasal 24 tentang persekongkolan
dan pasal 26 tentang jabatan rangkap diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp.5.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan.
c.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 mengenai
pemeriksaan terhadap pelaku usaha diancam pidana deda serendah-rendahnya
Rp.1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan.
3.
Sanksi pidana tambahan (pasal 49)
Di luar sanksi pidana pokok yang dikenakan dalam pasal 48 ayat 1 sampai
dengan ayat 3 Undang-undang tersebut di atas ketentuan pasal 49 Undang-undang
menetapkan sanksi pidana tambahan dengan menunjuk pada ketentuan pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana yang dijatuhkan berdasarkan
ketentuan pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pencabutan
izin usaha
b. Larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
Undang-undang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris
sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun.
c. Penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak
lain.
4.
Pengecualian-pengecualian
Selain pengecualian yang secara khusus
diatur dalam pasal 5 ayat 2 mengenai penetapan harga secara bersama, Undang-undang
juga mengecualikan beberapa hal berikut ini dari berlakunya Undang-undang ini:
a.
Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.
Perjanjian penetapan standar teknis produk barang
atau jasa tidak mengekang dan tidak menghalangi persaingan.
c.
Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan
atau perbaikan standar hidup masyarakat yang luas.
d.
Perjanjian internasioanal yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
e.
Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan
atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
f.
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Republik Indonesia
g.
Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk
ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri
h.
Pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil
sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
i.
Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan
untuk melayani anggotanya
H. Contoh Kasus
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan pemerintah yang
bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. PLN masih
merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal
ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat,
dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk ke dalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan
karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan
tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga
berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat
disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada
negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh
3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan
swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar,
serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan.
Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak
selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk
melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan
tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan
oleh PT. PLN adalah:
1.
Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan
transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya
pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap
ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di
Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi,
Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath
Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi
dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan
oleh PT. PLN sendiri.
2.
Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik
Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai
wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal
ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi
bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih
pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena
adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan
Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta
Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk
pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara
Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional,
kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri
tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal
ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum
terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Kesimpulan :
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada
masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Subagyo.
2003. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Buku II.
Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.
Yani,
Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2006. Seri
Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Novita, Riza. 2013. Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Contoh Kasus. (Online). (http://rizanovita12.blogspot.com/2013/05/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html), diakses 28 Maret 2014.
LPP Community. 2009. Etika Bisnis: Monopoli – Kasus PT. Perusahaan Listrik Negara. (Online). (http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/), diakses 15 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar